Nama
: Saddam Nurhidayat
Nim
: 1001120084
Tugas
: Resume PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Sumber
:
-
Buku “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Prof.
Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. Penerbit Gadjah Mada University Press
-
http://albatrozz.wordpress.com/2008/09/09/fungsi-tugas-wewenang-dan-mekanisme-beracara-di-peradilan-tata-usaha-negara/
PERADILAN
TATA USAHA NEGARA
A.
Organisasi
Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal
1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 merumuskan pengertian sengketa tata usaha Negara
sebagai sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara baik pusat
maupun daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara.
Rumusan itu mirip dengan rumusan AROB di Belanda. Kalau Wet AROB Belanda
mengartikan AROB (Administratieve Rechtspraak Overheidsbecschikkingen) sebagai
suatu “aanvullende administratief rechtspraak”’, maka di samping AROB masih ada
badan-badan lainnya yang melaksanakan fungsi sebagai Peradilan Tata Usaha
Negara. Dengan demikian AROB itu sendiri bukanlah merupakan suatu system umum
Peradilan Tata Usaha Negara tetapi suatu peradilan khusus.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 8 UU No.5 Tahun 1986, pengadilan tata usaha Negara terdiri atas
pengadilan tata usaha Negara (PTUN) sebagai pengadilan tingkat pertama, dan
pengadilan tinggi tata usaha Negara (PT TUN). Struktur yang demikian mirip
dengan struktur peradilan umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Nomor 2,
Tahun 1986 (Vide Pasal 6). Meskipun dengan struktur yang sama namun alur
perkara dalam lingkungan peradilan umum berbeda dengan lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara. Perbedaan itu di sebabkan karena dalam jalur Peradilan Tata
Usaha Negara terdapat saluran upaya administratief (vude pasal 48 UU N0.5 Tahun
1986).
Pengadilan
tata usaha Negara dibentuk dengan keputusan Presiden (Pasal 9 UU No.5 Tahun
1986), sedangkan pengadilan tinggi tata usaha Negara dibentuk dengan
undang-undang . pada waktu pertama kali diterapkan UU No.5 th. 1986 melalui PP
no. 7 th. 1991 yang menyatakan bahwa PTUN mulai diterapkan tgl. 14 Januari
1991, telah dibentuk lima pengadilan TUN melaui Kepres No. 52 th. 1990 dan tiga
Pengadilan Tinggi Tun melalui UU no. 10 th. 1990. Lima pengadilan TUN tersebut
adalah: PTUN Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Tiga PT TUN
tersebut adalah PT TUN: Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang. Sejalan dengan
ketentuan Pasal 10 ayat 2 UU No.14 Tahun 1970, kekuasaan kehakiman di
lingkungan peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
pengadilan Negara tertinggi.
Mahkamah Agung
|
Peradilan umum
|
Peradilan Agama
|
Peradilan Militer
|
Peradilan Tata
Usaha Negara
|
B.
Upaya
Administratife
Tindakan
hukum tata usaha Negara tidaklah sama dengan maknanya dengan tindakan pejabat
atau tindakan badan tata usaha Negara. Tidak setiap tindakan pejabat adalah
tindakan hukum tata usaha Negara. Terhadap KTUN yang mengenal adanya upaya
administratief diisyaratkan untuk menggunakan saluran peradilan tata usaha
Negara. Tentang hal ini, pasal 48 UU No.5 Tahun 1986 menyatakan
1.
Dalam hal suatu
badan hukum atau pejabat tata usaha Negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administrative
sengketa tata usaha Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut
harus diselesaikan melalui upaya administrative yang tersedia.
2.
Pengadilan baru
berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika seluruh upaya administrative yang
bersangkutan telah digunakan.
Untuk
KTUN yang memungkinkan adanya upaya administrative, gugatan langsung ditujukan
kepada pengadilan tinggi tata usaha Negara (pasal 51 ayat 3). Dengan demikian
kemungkinan ada dua jalur atau dua alur berperkara di muka peradilan tata usaha
Negara. Bagi KTUN yang tidak mengenal adanya upaya administratif, gugatan
ditujukan kepada PTUN (tingkay pertama) sedangkan bagi KTUN yang mengenal
adanya upaya administratif gugatan langsung ditujukan kepada pengadilan tinggi
tata usaha Negara.
Ada
dua macam upaya administratif, yaitu, “banding administratif” dan prosedur
“keberatan”. Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh instansi yang sama,
yaitu, badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan KTUN, maka
prosedur yang ditempuh disebut “keberatan”. Dalam hal penyelesaiannya dilakukan
oleh instansi atasan atau instansi lain, maka prosedur itu disebut “banding
administratif”. Penjelasan UU No.5 Tahun 1986 memberi contoh sebagai “banding
administratif” antara lain, Majelis Pertimbangan Pajak, Badan Pertimbangan
Kepegawaian. Dengan contoh tersebut, majelis pertimbangan pajak yang dianggap
sebagai badan peradilan tata usaha khusus, oleh UU No.5 Tahun 1986 dipandang sebsagai
“banding administratif”.
Dengan
SE Mahkamah Agung No.2 Tahun 1991 Tanggal 9 Juli 1991 dinyatakan bahwa dalam
hal upaya administrative yang tersedia hanya berupa “keberatan” gugat diajukan
ke pengadilan TUN, tidak ke PT TUN.
C.
Kompetensi
Absolut Peradialan Tata Usaha Negara
Pasal
47 UU No.5 Tahun 1986 menyebutkan : Pengadilan bertugas dan berwenang
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara. Pasal 1
angka 4 UU No.5 Tahun 1986 merumuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan
demikian, KTUN merupakan dasar lahirnya sengketa tata usaha Negara. Pasal 1 angka 3 merumuskan
KTUN, adalah, suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undanagan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Dari
rumusan pasal 1 angka 3 ada beberapa masalah pokok yang perlu dicari kejelasan,
baik berdasarkan ketentuan hukum positif, konsep-konsep serta teori hukum khususnya
hukum administrasi. Di antaranya adalah: konsep tindakan hukum tata usaha
Negara, interpretasi pengertian/konsep “individual”.
Tindakan
hukum tata usaha Negara tidaklah sama maknanya dengan pejabat atau tindakan
badan hukum tata usaha Negara. Tidak setiap
tindakan pejabat adalah tindakan hukum tata usha Negara. Untuk itu
disajikan skema tentang tindakan pemerintahan sebagai berikut.
TINDAKAN
PEMERINTAHAN
|
Tindakan materiil
|
Tindakan hukum
|
individual
|
umum
|
Berbagai pihak
|
Tindakan hukum
privat
|
Tindakan hukum
publik
|
sepihak
|
abstrak
|
konkrit
|
Dari
skema di atas, penegrtian tindakan hukum tata usha Negara termasuk dalam
kelompok tindakan public yang sifatnya sepihak dan diarahkan kepada sasaran
individual. Pengertian demikian itu sekarang ini dalam hukum Belanda lebih
dipertegas lagi melaui ketentuan AWB (Algemene Wet Bestuursrecht). Dalam AWB,
KTUN dirumuskan sebagai tindakan hukum public tertulis.
D.
Tenggang Waktu
Menggugat
Berdasarkan
ketentuan pasal 5.5 tenggang waktu mengajukan gugatan adalah:
a.
Bagi yang
dituju dengan sebuah KTUN (pihak II): 90 hari sejak saat KTUN itu diterima
b.
Bagi pihak III
yang berkepentingan: 90 hari sejak saat KTUN itu diumumkan.
Yang
jadi masalah ialah dalam praktek pemerintaha
kita belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara pengumuman
suatu KTUN. Memang dalam beberapa hal ada ketentuan tentang itu seperti
misalnya dalam ordonansi gangguan, namun bagi sebagian besar praktek
pemerintahan kita hal itu belum diatur. Berdasarkan keadaan yang demikian,
Mahkamah Agung menerbitkan SE no.2 tahun 1991 yang isinya: bagi pihak III yang
tidak diyuju oleh KTUN tersebut, penghitungannya 90 hari adalah sejak yang
bersangkutan mengetahui adanya KTUN tersebut dan merasa kepentingannya
dirugikan oleh KTUN tersebut.
SE
MA tersebut barangkali dianggap sebagai terobosan untuk mengatasi kevakuman
hukum namun isi SE tersebut sangatlah tidak sesuai dengan asas kepastian hukum. Dengan SE
tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan
puluhan tahun silam.
Untuk
mengatasi hal tersebut, di satu sisi hukum administrasi kita harus dikemba
ngkan untuk dapat memenuhi praktek peradilan dan di sisi lain praktek peradilan
hendaknya berhati-hati menerapkan SE tersebut agar tetap dijaga asas kepastian
hukum. Barangkali dalam menerapkan SE tersebut perlu adanya suatu pembuktian
awal apakah benar seseorang itu baru mengetahui adanya suatu KTUN.
E.
RUANG LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PERATUN
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan
dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang
timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota
masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun
didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking),
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku “ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No.
9 Tahun 2004).
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana
dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau
Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek dan Objek gugatan di
Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai unsur-unsur
dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.
Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan
dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :“Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi
tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.”Selanjutnya dari pengertian ataupun
definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil unsur-unsur dari suatu
Keputusan TUN, yang terdiri dari
Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis
Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk
tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga
merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam
pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu
disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena
seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986,
bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat
bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena
sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang
dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas :
-
Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.
-
Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.
-
Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang
ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final.
-
Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi
seseorang atau Badan Hukum Perdata.
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis
itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka
pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya
mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan. Badan atau Pejabat TUN sebagai
subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :“Badan atau Pejabat Tata
Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya
ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat
tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu
pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang
melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu
Badan atau Pejabat TUN.
Sedang yang dimaksud dengan urusan
pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan
negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian
apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang
berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi
yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan
dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN
dalam konteks sebagai subjek di Peratun.
Berisi Tindakan Hukum TUN.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa
suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau
Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum
TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan,
atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang
telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka
tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum,
artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
- Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.
Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut
dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh
Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah
yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata
“berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk
melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber
ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2.
Bersifat Konkret, Individual dan Final.
Keputusan TUN itu harus bersifat konkret,
artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi
berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai
Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya. Bersifat Individual
artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas
kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju.
Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu
yang nyata dan ada. Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta
dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan
akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang
definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek
hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah
ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final.
3.
Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan
Hukum Perdata.
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya
menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena
Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan
hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan
suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai
suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu
perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan
hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan
suatu status dan sebagainya. Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam
pasal 1 angka 3 tersebut diatas, dalam UU Peratun diatur juga ketentuan
tentang pengertian yang lain dari Keputusan TUN, sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 3, sebagai berikut :
(1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya,
maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedang jangka waktu
sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah
lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah
menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);
maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan
keputusan penolakan.”
Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan
dari pengertian Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3
diatas, yang disebut dengan Keputusan TUN yang Fiktif atau Negatif.
Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan
prinsip dasar bahwa setiap Badan atau Pejabat TUN itu wajib melayani setiap
permohonan warga masyarakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasarnya
menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat TUN tersebut. Oleh
karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan kewajibannya, maka
walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu permohonan yang
diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan tersebut.
Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan
jangka waktu penyelesaian dari suatu permohonan, maka sesuai dengan ketentuan
ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu yang ditentukan oleh aturan
dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga menanggapinya (mengeluarkan
keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya.
Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi pengadilan).
Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi pengadilan).
Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas
pengertian Keputusan TUN sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas, juga
UU Peratun mengatur tentang ketentuan yang mempersempit pengertian dari
Keputusan TUN (mempersempit kompetensi pengadilan), artinya secara definisi
masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka
3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat dijadikan objek gugatan di
Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang menyebutkan :
“Pengadilan tidak berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal
keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Keadaan-keadaan tersebut diatas dapat terjadi
pada prinsipnya tergantung pada hasil penafsiran dari apa yang ditentukan dalam
masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk masing-masing
keadaan, seperti penetapan keadaan perang, keadaan bahaya, bencana alam dan
sebagainya. Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari
Pengertian Keputusan TUN, yaitu :“ Tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
- Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
- Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
- Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
- Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
- Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
- Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum