Halaman

Minggu, 07 April 2013

hukum tata usaha negara


Nama : Saddam Nurhidayat
Nim : 1001120084
Tugas : Resume PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Sumber :
-          Buku  “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. Penerbit Gadjah Mada University Press
-          http://albatrozz.wordpress.com/2008/09/09/fungsi-tugas-wewenang-dan-mekanisme-beracara-di-peradilan-tata-usaha-negara/


PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A.    Organisasi Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 merumuskan pengertian sengketa tata usaha Negara sebagai sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara baik pusat maupun daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara. Rumusan itu mirip dengan rumusan AROB di Belanda. Kalau Wet AROB Belanda mengartikan AROB (Administratieve Rechtspraak Overheidsbecschikkingen) sebagai suatu “aanvullende administratief rechtspraak”’, maka di samping AROB masih ada badan-badan lainnya yang melaksanakan fungsi sebagai Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian AROB itu sendiri bukanlah merupakan suatu system umum Peradilan Tata Usaha Negara tetapi suatu peradilan khusus.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No.5 Tahun 1986, pengadilan tata usaha Negara terdiri atas pengadilan tata usaha Negara (PTUN) sebagai pengadilan tingkat pertama, dan pengadilan tinggi tata usaha Negara (PT TUN). Struktur yang demikian mirip dengan struktur peradilan umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Nomor 2, Tahun 1986 (Vide Pasal 6). Meskipun dengan struktur yang sama namun alur perkara dalam lingkungan peradilan umum berbeda dengan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Perbedaan itu di sebabkan karena dalam jalur Peradilan Tata Usaha Negara terdapat saluran upaya administratief (vude pasal 48 UU N0.5 Tahun 1986).
Pengadilan tata usaha Negara dibentuk dengan keputusan Presiden (Pasal 9 UU No.5 Tahun 1986), sedangkan pengadilan tinggi tata usaha Negara dibentuk dengan undang-undang . pada waktu pertama kali diterapkan UU No.5 th. 1986 melalui PP no. 7 th. 1991 yang menyatakan bahwa PTUN mulai diterapkan tgl. 14 Januari 1991, telah dibentuk lima pengadilan TUN melaui Kepres No. 52 th. 1990 dan tiga Pengadilan Tinggi Tun melalui UU no. 10 th. 1990. Lima pengadilan TUN tersebut adalah: PTUN Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Tiga PT TUN tersebut adalah PT TUN: Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang. Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat 2 UU No.14 Tahun 1970, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi.

Mahkamah Agung
Peradilan umum
Peradilan Agama
Peradilan Militer
Peradilan Tata Usaha Negara
 








B.     Upaya Administratife
Tindakan hukum tata usaha Negara tidaklah sama dengan maknanya dengan tindakan pejabat atau tindakan badan tata usaha Negara. Tidak setiap tindakan pejabat adalah tindakan hukum tata usaha Negara. Terhadap KTUN yang mengenal adanya upaya administratief diisyaratkan untuk menggunakan saluran peradilan tata usaha Negara. Tentang hal ini, pasal 48 UU No.5 Tahun 1986 menyatakan
1.      Dalam hal suatu badan hukum atau pejabat tata usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administrative sengketa tata usaha Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administrative yang tersedia.
2.      Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika seluruh upaya administrative yang bersangkutan telah digunakan.
Untuk KTUN yang memungkinkan adanya upaya administrative, gugatan langsung ditujukan kepada pengadilan tinggi tata usaha Negara (pasal 51 ayat 3). Dengan demikian kemungkinan ada dua jalur atau dua alur berperkara di muka peradilan tata usaha Negara. Bagi KTUN yang tidak mengenal adanya upaya administratif, gugatan ditujukan kepada PTUN (tingkay pertama) sedangkan bagi KTUN yang mengenal adanya upaya administratif gugatan langsung ditujukan kepada pengadilan tinggi tata usaha Negara.
Ada dua macam upaya administratif, yaitu, “banding administratif” dan prosedur “keberatan”. Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh instansi yang sama, yaitu, badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan KTUN, maka prosedur yang ditempuh disebut “keberatan”. Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain, maka prosedur itu disebut “banding administratif”. Penjelasan UU No.5 Tahun 1986 memberi contoh sebagai “banding administratif” antara lain, Majelis Pertimbangan Pajak, Badan Pertimbangan Kepegawaian. Dengan contoh tersebut, majelis pertimbangan pajak yang dianggap sebagai badan peradilan tata usaha khusus, oleh UU No.5 Tahun 1986 dipandang sebsagai “banding administratif”.
Dengan SE Mahkamah Agung No.2 Tahun 1991 Tanggal 9 Juli 1991 dinyatakan bahwa dalam hal upaya administrative yang tersedia hanya berupa “keberatan” gugat diajukan ke pengadilan TUN, tidak ke PT TUN.
C.     Kompetensi Absolut Peradialan Tata Usaha Negara
Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 menyebutkan : Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara. Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 merumuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, KTUN merupakan dasar lahirnya sengketa  tata usaha Negara. Pasal 1 angka 3 merumuskan KTUN, adalah, suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undanagan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dari rumusan pasal 1 angka 3 ada beberapa masalah pokok yang perlu dicari kejelasan, baik berdasarkan ketentuan hukum positif, konsep-konsep serta teori hukum khususnya hukum administrasi. Di antaranya adalah: konsep tindakan hukum tata usaha Negara, interpretasi pengertian/konsep “individual”.
Tindakan hukum tata usaha Negara tidaklah sama maknanya dengan pejabat atau tindakan badan hukum tata usaha Negara. Tidak setiap  tindakan pejabat adalah tindakan hukum tata usha Negara. Untuk itu disajikan skema tentang tindakan pemerintahan sebagai berikut.
TINDAKAN PEMERINTAHAN
Tindakan materiil
Tindakan hukum
individual
umum
Berbagai pihak
Tindakan hukum privat
Tindakan hukum publik
sepihak
abstrak
konkrit
 

















Dari skema di atas, penegrtian tindakan hukum tata usha Negara termasuk dalam kelompok tindakan public yang sifatnya sepihak dan diarahkan kepada sasaran individual. Pengertian demikian itu sekarang ini dalam hukum Belanda lebih dipertegas lagi melaui ketentuan AWB (Algemene Wet Bestuursrecht). Dalam AWB, KTUN dirumuskan sebagai tindakan hukum public tertulis.
D.    Tenggang Waktu Menggugat
Berdasarkan ketentuan pasal 5.5 tenggang waktu mengajukan gugatan adalah:
a.       Bagi yang dituju dengan sebuah KTUN (pihak II): 90 hari sejak saat KTUN itu diterima
b.      Bagi pihak III yang berkepentingan: 90 hari sejak saat KTUN itu diumumkan.
Yang jadi masalah ialah dalam praktek pemerintaha  kita belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara pengumuman suatu KTUN. Memang dalam beberapa hal ada ketentuan tentang itu seperti misalnya dalam ordonansi gangguan, namun bagi sebagian besar praktek pemerintahan kita hal itu belum diatur. Berdasarkan keadaan yang demikian, Mahkamah Agung menerbitkan SE no.2 tahun 1991 yang isinya: bagi pihak III yang tidak diyuju oleh KTUN tersebut, penghitungannya 90 hari adalah sejak yang bersangkutan mengetahui adanya KTUN tersebut dan merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN tersebut.
SE MA tersebut barangkali dianggap sebagai terobosan untuk mengatasi kevakuman hukum namun isi SE tersebut sangatlah tidak sesuai  dengan asas kepastian hukum. Dengan SE tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun silam.
Untuk mengatasi hal tersebut, di satu sisi hukum administrasi kita harus dikemba ngkan untuk dapat memenuhi praktek peradilan dan di sisi lain praktek peradilan hendaknya berhati-hati menerapkan SE tersebut agar tetap dijaga asas kepastian hukum. Barangkali dalam menerapkan SE tersebut perlu adanya suatu pembuktian awal apakah benar seseorang itu baru mengetahui adanya suatu KTUN.
E.     RUANG LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PERATUN
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku “ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa  yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek dan Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.
Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :“Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari
Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis
Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas :
-          Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.
-          Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.
-          Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final.
-          Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan  salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau  Pejabat  TUN  dalam rangka pelaksanaan suatu bidang  urusan  pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan. Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Badan atau Pejabat TUN di sini  ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.
Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.
Berisi Tindakan Hukum TUN.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan  Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
  1. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.
Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas)  urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Bersifat Konkret, Individual dan Final.
Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya. Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut  ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final.
3.      Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya. Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas, dalam UU Peratun diatur juga  ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :
(1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”
Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan TUN yang Fiktif atau Negatif.
Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan kewajibannya,  maka walaupun ia tidak mengeluarkan  keputusan terhadap suatu permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan tersebut.
Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya.
Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi pengadilan).
Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas,  juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan yang mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang menyebutkan :
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Keadaan-keadaan tersebut diatas dapat terjadi pada prinsipnya tergantung pada hasil penafsiran dari apa yang ditentukan dalam masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk masing-masing keadaan, seperti penetapan keadaan perang, keadaan bahaya, bencana alam dan sebagainya. Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN,  yaitu :“ Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
  3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
  4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang  Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
  5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
  7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum  baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum